Oleh : Muhamad Hafidz Ar Rizki*
“Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki.”
— Mohammad Hatta—
Dilansir dari Tempo.co, pada tahun ini terdapat sebanyak 860.976 peserta ujian tulis berbasis komputer (UTBK) yang tersebar di seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Jumlah ini mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya yang menyentuh angka 785.058 peserta dari berbagai SMA/SMK/MA sederajat.
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, peserta UTBK ini berasal dari berbagai kalangan. Bukan hanya siswa-siswi SMA yang tidak terdaftar sebagai siswa eligible dan belum lolos SNBP 2025 saja, tetapi juga mereka yang masih belum mendapat ‘biru’ pada SNBP/SNBT dua tahun ke belakang.
Dari tahun ke tahun, UTBK-SNBT seakan menjadi momok bagi para siswa lulusan SMA/SMK/MA se-Indonesia. Bagaimana tidak, perpisahan/kelulusan ternyata bukanlah garis akhir dari perjuangan mereka. Setelah berkutat dengan ujian sekolah, ujian praktik, dan berbagai macam projek, mereka masih harus berjuang untuk sebuah ujian masuk perguruan tinggi negeri, bagi mereka yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang diploma maupun sarjana (D-3/S-1).
Melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi memang merupakan salah satu pilihan yang tersedia bagi para lulusan SMA. Kelebihannya dibanding bekerja, para siswa dapat mendalami bidang yang mereka minati dari mata pelajaran yang mereka pelajari di sekolah.
Contohnya, bagi siswa lulusan IPA, mereka dapat memilih jurusan rumpun Saintek seperti Biologi, Kimia, hingga Kedokteran. Bagi siswa lulusan IPS, mereka dapat memilih jurusan rumpun Soshum seperti Ilmu Politik, Hubungan Internasional, hingga Sosiologi.
Tak hanya itu, bagi lulusan peminatan lainnya seperti Agama, Bahasa, dan juga SMK, tersedia pilihan jurusan yang lebih variatif seperti Sastra, Pendidikan, Teknik, hingga Sekolah Vokasi. Walaupun pada kenyataannya, sangat banyak siswa yang memilih jurusan tidak berdasarkan peminatan mereka di sekolah, sehingga melahirkan “mahasiswa salah jurusan”.
Perjuangan untuk sampai ke sana tidaklah mudah. Ratusan ribu siswa bersaing untuk menduduki bangku perkuliahan dan menyandang gelar sebagai seorang mahasiswa. Tentu saja, untuk dapat duduk di bangku kuliah, tak didapatkan dengan harga yang murah dan cara yang mudah. Salah satu tahapan yang harus mereka lalui adalah ujian ini.
UTBK merupakan puncak dari segala bimbel (bimbingan belajar) hingga jutaan rupiah perbulan, kelompok belajar setiap istirahat di sekolah, juga latihan mandiri hingga larut malam. Sayangnya, banyak yang gugur sebelum sampai di gerbang. Ada yang terlambat datang, salah lokasi, hingga tidak mematuhi aturan main.
Hal lain yang menjadi sorotan setiap tahun adalah kecurangan yang kerap kali terjadi di dalamnya. Berbagai cara dilakukan oleh banyak oknum dan calon mahasiswa dengan berbagai motif dan cara. Tahun ke tahun, metode yang dilakukan pun semakin inovatif. Bukan hanya para peserta, para oknum ini juga ikut belajar. Belajar mencari cara yang paling baik dan efektif untuk mendapatkan soal, kemudian membocorkannya ke kelompok dan grup-grup pembahasan soal UTBK.
Di antara metode-metode kecurangan yang sudah terbongkar dari tahun-tahun sebelumnya yaitu dengan membawa hp cadangan di sepatu, membuat kertas contekan, hingga memasang kamera di kancing baju.
Bahkan, jenis kecurangan yang dilakukan di tahun ini semakin menjadi-jadi, bukan hanya sekadar menaruh kamera di pakaian saja, tetapi juga memasangnya di behel gigi. Bahkan parahnya lagi, ada yang sempat melakukan live (siaran langsung) di Instagram.
Setelah ditelusuri memang benar, tidak semua peserta yang masuk ke dalam ruang ujian tersebut memiliki tujuan yang sama. Meski sebagian besarnya bertujuan untuk lolos ke perguruan tinggi impian, sebagian kecil di antaranya bertujuan untuk membocorkan soal dan jawaban. Hal ini jelas-jelas merusak sistem.
Para peserta yang seharusnya bersaing secara sehat, fokus dengan ratusan soal di depan layar mereka, kini harus bertambah panjang pula pikiranya memikirkan berbagai kecurangan yang terjadi. Setelah bersaing dengan anak-anak bimbel, kini mereka juga harus bersaing dengan orang-orang curang. Oknum seperti ini yang membuat bimbel dan buku-buku Wangsit seakan tak ada harganya sama sekali.
Melalui akun X-nya, lembaga Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB), @utbk_snpmb mengecam berbagai tindakan kecurangan yang dilakukan, dan menjelaskan bahwa soal pada setiap sesi dan hari berbeda. Bukannya meredakan ketegangan, hal ini justru memancing keributan. Utas ini telah dilihat lebih dari 450 ribu kali, dan dikomentari oleh lebih dari 159 pengguna X.
Selain mengecam para pelaku tindak kecurangan, warganet juga turut mempertanyakan kinerja lembaga pengawas ujian masuk kampus ini. Pasalnya, dengan uang yang mereka dapatkan dari biaya pendaftaran peserta ujian (satu anak sekitar Rp200.000), kecurangan semacam ini masih saja berlaku.
Kita takkan pernah tahu siapa yang benar-benar jujur dan bersih, karena di hari pengumuman nanti, yang ada hanyalah hasil tes potensi skolastik, tes literasi bahasa, dan tes penalaran matematika. Sedangkan, tak ada hasil tes kejujuran maupun persentase kecurangan. Pada akhirnya, biarlah Tuhan yang menentukan dan memberi balasan. Kalau kata Roy Suryo, “Gusti Allah mboten sare” (Allah tidak pernah tidur).
Mari berharap, semoga di masa depan, generasi bangsa bisa dengan lancar dan berhasil mengikuti UTBK. Ujian tulis berbasis kejujuran, kebenaran, dan keilmuan; yang berujung pada kebanggaan karena berhasil mendapat “biru” tanpa kecurangan. Sekian. (*)
* Penulis adalaha Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang