5 Bulan Sudah Indonesia Dihantam Deflasi, Apa Bahayanya?

Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti. (Foto: Istimewa)

JAKARTA, FOKUSRIAU.COM-Sejak Mei 2024, Indonesia mengalami deflasi secara beruntun. Deflasi tahun ini, pertama kali terjadi Mei 2024 sebesar 0,03 persen mtm. Semakin dalam bulan Juni 2024 menyentuh 0,08 persen dan Juli 2024 menembus 0,18 persen.

BPS mencatat, deflasi mulai membaik Agustus 2024, kembali ke level 0,03 persen secara bulanan. Namun, tingkat deflasi di Indonesia kini kembali memburuk. September 2024, deflasi tercatat 0,12 persen secara bulanan.

Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, ini adalah deflasi kelima berturut-turut selama 2024.

Bahkan, deflasi September 2024 menjadi yang terparah dalam lima tahun terakhir kepemimpinan Presiden Jokowi.

“Secara historis, deflasi September 2024 merupakan deflasi terdalam dibandingkan bulan yang sama dalam lima tahun terakhir, dengan tingkat deflasi sebesar 0,12 persen (month to month/mtm),” kata Amalia dalam Konferensi Pers di Kantor BPS Jakarta, Selasa (1/10/2024).

“Deflasi September 2024 terlihat lebih dalam dibandingkan Agustus 2024 dan ini merupakan deflasi kelima pada 2024 secara bulanan,” tambah Amalia.

Pakar Kebijakan Publik dan Ekonom UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan deflasi ini memang pertanda penurunan daya beli masyarakat. Namun bukan hanya soal penurunan daya beli. Kondisi ini menunjukkan adanya ketimpangan ekonomi yang semakin menganga.

Hal ini terlihat dari konsumsi kelompok atas yang tetap stabil, bahkan lebih fokus pada kebutuhan tersier.

Artinya, alih-alih mengurangi konsumsi, mereka yang berada di lapisan atas justru tetap membelanjakan uang mereka, tetapi untuk barang-barang yang bersifat mewah atau hiburan.

Menurutnya, kondisi tersebut sangat kontras dengan kelas menengah ke bawah yang kemampuan membelanjakan uangnya ‘babak belur’, bahkan hanya untuk membeli kebutuhan dasar.

“Di sisi lain, kelas menengah bawah yang daya belinya terus tergerus oleh berbagai faktor seperti inflasi, pengangguran, dan ketidakpastian ekonomi mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, apalagi untuk konsumsi barang tersier. Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan yang sangat nyata dalam distribusi pendapatan di masyarakat,” katanya dikutip FokusRiau.Com dari CNNIndonesia.com.

Perubahan pola belanja yang cenderung mengutamakan barang-barang tersier di kelas atas, sambungnya, mengindikasikan fenomena deflasi yang sedang terjadi tidak sepenuhnya mencerminkan penurunan ekonomi secara menyeluruh.

Dia melihat kondisi ini menunjukkan ketimpangan, di mana uang semakin terakumulasi di tangan mereka yang berada di lapisan atas, sementara kelas menengah dan bawah masyarakat kian kehilangan daya beli.

Menurutnya, fenomena ini sangat berbahaya. Karena ketika uang semakin terpusat di kalangan kelas atas, roda ekonomi yang didorong konsumsi kelas menengah bawah bisa terhenti.

Dalam jangka panjang, kata Achmad, ketimpangan yang semakin tajam ini bisa berdampak buruk pada stabilitas sosial.

Sejarah membuktikan, kesenjangan yang tidak tertangani dapat memicu ketidakpuasan sosial yang lebih besar dan berujung pada masalah-masalah sosial, seperti meningkatnya kriminalitas atau konflik horizontal.

“Jika kita melihat lebih dalam, fenomena ini memperlihatkan bahwa kebijakan ekonomi yang ada belum berhasil menjawab persoalan mendasar terkait pemerataan kesejahteraan. Kelas menengah bawah, yang seharusnya menjadi penggerak utama konsumsi dalam negeri semakin terpinggirkan,” tukasnya. (bsh)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *