SLEMAN, FOKUSRIAU.COM-Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengaku telah menyegel puluhan perusahaan perkebunan yang terlibat kasus kebakaran hutan atau lahan atau karhutla.
Menteri LHK Siti Nurbaya menyebut, kementeriannya melalui Ditjen Gakkum telah melakukan penyegelan terhadap setidaknya ada 48 perusahaan yang melakukan praktek membuka lahan lewat pembakaran lahan.
Selain itu, masih ada sekitar 230 hingga 260 perusahaan lainnya yang ditegur. Kendati demikian, dirinya tak merinci bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan ratusan perusahaan tersebut.
“Yang sedang kita waspadai adalah kebakaran yang orang ngebuka lahan, dia dapat izin baru misalnya tahu-tahu dia bakar aja itu supaya bisa nanam sawit. Nah itu yang sekarang lagi ditangani,” kata Siti ditemui di UGM, Sleman, DIY, Jumat (20/10/2023).
Siti berujar, perusahaan yang disegel maupun ditegur tersebar di sejumlah lokasi. Paling banyak berada di Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.
“Ya daerahnya itu-itu aja lah, lagi kita beresin,” katanya.
Ia menekankan, upaya tegas dilakukan sebagai langkah pemerintah mengantisipasi dan meminimalisir kejadian karhutla yang memicu pemburukan kualitas udara hingga memunculkan kabut asap.
Kementerian LHK sendiri mencatat sekitar tujuh ribuan titik panas atau hot spot di seluruh Indonesia berdasarkan hasil pendataan termutakhir tahun ini.
Titik panas merupakan indikator karhutla yang terdeteksi dari suatu lokasi, dengan suhu relatif tinggi dibandingkan dengan suhu di sekitarnya. “Sekarang kan record-nya baru sekitar tujuh ribuan,” kata Siti.
Melihat data itu, Siti pun mengaku heran dengan kondisi buruknya kualitas udara hingga banyaknya kejadian kabut asap sekarang ini yang dipicu kejadian karhutla.
Dibandingkan tahun 2015, jumlah titik panas di Indonesia sekarang ini masih kalah jauh. Delapan tahun lalu, menurut dia, rekornya menembus 70 ribuan titik panas.
“Tapi memang saya juga nggak ngerti ya kenapa seperti ini. Sebab kalau dilihat dari suhunya 2015 rasanya lebih panas,” katanya.
“Terus 2019 kan panas juga, itu kira-kira 21 ribu (titik panas). Jadi sebetulnya kalau sekarang sih harusnya (karhutla dan kabut asap) lebih terkendali. Tapi, yang aneh juga ada, kebakarannya di tepi-tepi jalan tuh, terus kenapa coba. Nah gitu kira-kira,” sambungnya.
Secara garis besar, pemerintah telah berupaya mengatasi karhutla yang memicu kabut asap atau memburuknya kualitas udara. Berbagai cara sudah dilakukan lewat cara teknik modifikasi cuaca, pemadaman darat, hingga water bombing, meski diakui Siti, hasilnya masih fluktuatif.
“Memang fluktuatif, turun naik turun naik,” kata Siti dikutip FokusRiau.Com dari CNNIndonesia.com.
Mengutip situs resmi Kementerian LHK, penanggung jawab usaha atau kegiatan perkebunan dilarang melakukan pembakaran lahan dalam pembukaan maupun pengolahan lahan.
Selain itu, dilarang membiarkan terjadinya kebakaran lahan di lokasi usaha atau kegiatannya dengan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian (precautinary principle).
Direktur Jenderal Gakkum Kementerian LHK, Rasio Ridho Sani mengatakan, pihaknya telah memerintahkan seluruh kantor Balai Gakkum di Sumatera dan Kalimantan untuk memonitor dan memverifikasi lapangan serta melakukan penyelidikan atas terjadinya karhutla pada areal konsesi perusahaan maupun lokasi yang dikuasai oleh masyarakat.
Dilanjutkan, instrumen penegakan hukum yang menjadi kewenangan Kementerian LHK akan digunakan untuk menindak tegas terhadap penanggung jawab usaha atau kegiatan atas terjadinya karhutla.
“Baik berupa pemberian sanksi administrasi hingga pencabutan izin, gugatan perdata berupa ganti rugi pemulihan lingkungan hidup maupun penegakan hukum pidana,” kata Rasio dikutip dari laman resmi Kementerian LHK.
Menurutnya, langkah kementerian melakukan penyegelan harus menjadi perhatian bagi perusahaan. Bagi perusahaan yang lokasinya terjadi kebakaran dapat dikenai sanksi admnistratif termasuk pembekuan dan pencabutan izin serta digugat perdata terkait dengan ganti rugi lingkungan hidup dan penegakan hukum pidana.
Ancaman hukuman terkait dengan pembakaran hutan dan lahan berdasarkan Pasal 108 UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah penjara maksimal 10 tahun serta denda maksimal Rp10 miliar. (bsh)