Walhi Desak Kemenhut Cabut Izin Perusahaan Pemicu Banjir Sumatera

Foto udara tumpukan gelondongan kayu di permukiman di Tabiang Bandang Gadang, Nanggalo, Kota Padang, Sumatera Barat, Selasa (9/12/2025) kemarin. (Foto: Antara)

PEKANBARU, FOKUSRIAU.COM-Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengungkap, operasional 13 perusahaan memicu bencana banjir di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, Selasa-Kamis (25-27/11/2025) lalu.

Walhi juga mendesak Kementerian Kehutanan mencabut izin di sektor kehutanan di wilayah tersebut.

Kepala Divisi Kampanye Walhi, Uli Artha Siagian menyebut, perusahaan tersebut bergerak di sektor kehutanan, pertambangan dan perkebunan yang menyebabkan rusaknya hutan sehingga daya tampungnya menurun.

Kata Uli, aktivitas ilegal di tiga provinsi itu sudah terjadi sejak belasan tahun lamanya, mengakibatkan kerusakan hutan dan daerah aliran sungai (DAS) mencapai 889.125 hektar lalu memicu banjir.

“Hal yang memalukan adalah mengapa Kementerian Kehutanan maupun kepolisian tidak melakukan penegakan hukum yang tegas. Apabila tindakan ilegal ini ditindak sejak dahulu, dampak besar seperti yang terjadi saat ini kemungkinan besar tidak akan terjadi,” kata Uli dalam keterangannya, Selasa (9/12/2025).

Walhi mencatat, terdapat 62 aktivitas penambangan emas tanpa izin di Kabupaten Solok dan Kabupaten Sijunjung, Sumbar. Selain itu, 5.208 hektar hutan di Aceh berubah menjadi perkebunan kelapa sawit.

Aktivitas perusahaan juga merusak 954 DAS di Aceh Barat, Nagan Raya, Pidie, Aceh Jaya, Aceh Tengah, Aceh Selatan dan Aceh Besar, yang 60 persen di antaranya berada dalam area hutan.

Karena itu, Walhi mendesak Kementerian Kehutanan segera mencabut semua perizinan di sektor kehutanan di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat secara transparan.

Kementerian Kehutanan juga harus menindak tegas aktivitas pertambangan ilegal dan perkebunan kelapa sawit.

Berdasarkan Pasal 72 Undang-Undang Kehutanan, Menteri Kehutanan dapat menggunakan kewenangannya untuk mewakili kepentingan masyarakat dan memaksa perusahaan perusak hutan bertanggung jawab.

Termasuk membayar kerugian masyarakat dan memulihkan hutan sebagai sumber kehidupan. Menurut Uli, mekanisme ini harus bermuara pada pemulihan lingkungan dan memberikan hak masyarakat.

“Bukan justru melanggengkan praktik ilegal sebagaimana terjadi pada Satgas PKH (Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan dan Pertambangan) yang terbukti membiarkan perkebunan kelapa sawit ilegal terus berlangsung di kawasan hutan,” tutur Uli.

Ditegaskan, masyarakat akan terus menanggung dampak buruk dari perusahaan yang tak bertanggung jawab apabila pemerintah tidak melakukan penegakan hukum administrasi, pidana dan perdata.

Ia tak menutup kemungkinan, kejadian serupa bakal terjadi di wilayah lainnya. (kps/bsh)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *