Banner Bupati Siak

Cegah Karhutla, BMKG Gencarkan Modifikasi Cuaca

Kebakaran hutan dan lahan di Riau. (Foto: CNNIndonesia)

JAKARTA, FOKUSRIAU.COM-Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melaksanakan operasi modifikasi cuaca (OMC). Tujuannya untuk mengisi kubah air di lahan gambut.

Langkah ini merupakan upaya mitigasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di wilayah rentan, seperti Sumatera dan Kalimantan

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan, saat ini telah terjadi perubahan paradigma pemanfaatan OMC di Indonesia dan membuktikan implementasi yang dilakukan berjalan efektif.

Sejak tahun 2015, BMKG menggunakan OMC untuk mitigasi bencana dan bukan lagi digunakan dalam penanganan ketika karhutla sudah terjadi.

“Caranya dengan melakukan pengisian kubah air gambut. Berdasarkan data Pemantau Air Lahan Gambut (SIPALAGA) ambang batas ketinggian air dalam tanah lahan gambut tidak boleh di bawah 40 cm yang menandakan status rawan kebakaran,” kata Dwikorita dikutip dalam pernyataan BMKG, Minggu (21/7/2024).

Dalam pernyataan itu, BMKG mengatakan, OMC dilakukan pada masa transisi musim hujan ke musim kemarau, terlihat jelas perbandingan efektivitasnya. Hotspot yang dipadamkan dengan hujan hasil OMC lebih efektif dibanding water bombing dan terrestrial dalam mengatasi karhutla.

Saat musim transisi hujan ke musim kemarau sengaja dipilih, karena pada dasarnya OMC sangat bergantung pada keberadaan awan hujan. Jika OMC baru dilakukan pada musim kemarau atau pada saat karhutla sudah terjadi, maka akan sulit melakukan OMC karena biasanya keberadaan awan sulit ditemukan.

Karena itu, air hujan yang berhasil diturunkan pada musim transisi diupayakan untuk disimpan ke dalam kubah gambut dengan mengisi embung-embung yang berada di daerah rawan karhutla. Nantinya, jika musim kemarau dan karhutla terjadi, cadangan air ini juga bisa digunakan oleh tim Manggala yang bekerja secara terrestrial.

Dwikorita menjelaskan, efektivitas pembasahan lahan gambut dalam memitigasi karhutla sudah terbukti. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun, telah terjadi perlambatan lonjakan hotspot (titik panas) di Sumatra dan Kalimantan.

Sebagai contoh, tahun 2014-2015 Riau yang menjadi daerah rawan karhutla mengalami kenaikan hotspot medio Februari-Maret dan mencapai puncaknya Juli, Agustus dan September.

Namun seiring dengan masifnya OMC pada musim transisi kemarau, pada tahun 2019, puncak hotspot di Riau baru terjadi pada September dengan jumlah titik yang melandai.

Untuk diketahui, Riau menjadi salah satu daerah rawan karhutla dari tahun ke tahun dan masuk ke dalam 10 besar provinsi dengan luas area lahan karhutla terbesar. Tahun 2009, luasan lahan yang terbakar di Riau adalah 120,504 hektare, 183,809 hektare pada 2015, 90,550 hektare pada 2019 dan menurun signifikan pada 2023 yaitu 7,267 hektare.

“Hotspot di Riau berkurang 93,9 persen pada tahun 2023 jika dibandingkan tahun 2019,” kata Dwikorita.

Penurunan jumlah hotspot juga terjadi di Kalimantan. Kenaikan hotspot yang biasa terjadi pada Agustus kini melambat menjadi September bahkan Oktober. Sebagai contoh, Kalimantan Tengah pada 2009 luasan area yang terbakar yaitu 247,942 hektare, 583, 833 hektare pada 2015, menurun menjadi 317,749 hektare pada 2019, dan 165,896 hektare pada 2023.

Penurunan ini sangat signifikan di tengah kondisi Indonesia yang dilanda El Nino pada 2019 dan 2023 yang menyebabkan kemarau lebih kering dan panjang dari biasanya.

“Ini mengindikasikan OMC berhasil menekan laju kenaikan hotspot pada dua pulau langganan karhutla. Adanya delay lonjakan hotspot mengindikasikan periode kekeringan yang berhasil dipersingkat,” ujarnya dikutip FokusRiau.Com dari republika.co.id.

Dengan demikian, Dwikorita melihat periode kekeringan yang menjadi sumber pemicu tingginya lonjakan hotspot berhasil dipersingkat karena pada saat periode transisi ke musim kemarau, gambut sudah lebih basah. Air-air yang berhasil disimpan pada kubah gambut juga bisa digunakan untuk water bombing apabila karhutla terjadi.

Hal yang paling penting, dengan basahnya lahan gambut maka kemungkinan besar oknum masyarakat yang melakukan pembakaran secara illegal pun akan kesulitan karena gambut dalam kondisi basah. (bsh)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *